dianrakyat.co.id, Jakarta – Kabar pertunangan seorang siswi SD berusia 7 tahun di Sampang, Maduran baru-baru ini menyita perhatian dunia maya.
Kasus tersebut mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk Biro Nasional Kependudukan dan Keluarga Berencana (NBFP).
Menurut Kepala BKKBN, dr Hasto, timnya memantau langsung situasi di kediaman kedua anak yang terlibat dalam kejadian tersebut. Mereka memastikan kedua anaknya memang bertunangan.
“Tentunya kita harus mengedukasi dia (anak-anak), keluarganya, masyarakat, dan pemerintah setempat bahwa hal itu dianggap tidak wajar,” kata Hasto saat ditemui di kantor BKKBN Jakarta, Kamis, 25 April 2024.
Dr Hasto meminta Maria Ernawat dari BKKBN Jawa Timur untuk menjelaskan hasil temuan di bidang ini.
Seorang kenalan bernama Erna menceritakan, dirinya terjun langsung ke lapangan untuk menyelidiki pertunangan gadis di bawah umur.
“Kami sampai di tempat tujuan dengan didampingi Pemda Kabupaten Sampang, karena tempatnya di Kecamatan Kamplong, kami sampai di rumahnya,” ujarnya.
Setelah mempelajari data, tim Erna menyimpulkan bahwa perjanjian ini tidak didasarkan pada faktor finansial. “Jadi ada kejadian saat orang tuanya berada di Makkah, mereka bersumpah, jika keduanya hamil, maka mereka akan menikahkan anak tersebut,” imbuhnya.
Erna melanjutkan, para cowok sudah tidak sabar untuk meresmikan hubungannya dengan para cewek. Faktanya, gadis-gadis itu menolak karena keduanya terlalu kecil.
“Suaminya seperti tidak betah, langsung melamar secara besar-besaran saat SD, padahal pihak keluarga perempuan menolak. Saat itu, dorongannya dia laki-laki,” ujarnya. .
Anak laki-laki tersebut bersikeras bahwa pertunangan tersebut hanyalah sebuah kencan, dan pernikahan tersebut kemungkinan besar akan dilangsungkan setelah kedua anaknya lulus SMA.
Akibat pengaturan tersebut, anak-anak yang bertunangan harus menanggung rasa malu dan menjadi korban perundungan di sekolah.
“Tentunya secara psikologis, anak-anak ini membutuhkan bantuan karena selama mereka berlatih, mereka menjadi bahan tertawaan teman-temannya yang sudah duduk di bangku sekolah dasar,” ujarnya.
“Jadi intinya BKKBN dan Pemkab Sampang datang, membantu dan melatih,” kata Erna.
Dulu, masyarakat menganggap kasus yang melibatkan anak di Jawa Timur lebih banyak terjadi karena faktor budaya. Namun menurut dr Hasto, kenyataannya kasus seperti itu tidak banyak.
“Dikiranya banyak, tapi kenyataannya tidak banyak. Terinspirasi doa Haji, kalau aku hamil, aku nikah. Lalu dia hamil. Dia melahirkan, seperti sungguhan.” dan sebagai hadiah, akhirnya dia dapat kontraknya,” ujarnya.
Sebagai Kepala BKKBN, Dr. Hasto berpendapat bahwa dirinya harus berlatih. Pasalnya, secara biologis bertentangan dengan berbagai hal, termasuk dari sisi sosial.
“Dia (anaknya) sama sekali tidak pantas, tidak perlu jatuh cinta. Dia tidak menginginkan pasangan hidupnya, jadi menurut saya kita perlu mendidiknya,” tutupnya.