JAKARTA – Dalam perjuangannya melawan sanksi Barat, Rusia dan Afghanistan sepakat untuk mendedolarisasi transaksi kedua negara. Rusia dan Afghanistan menggunakan mata uang lokal, rubel dan Afghanistan, untuk perdagangan antar negara.
“Rusia dan Afghanistan menghadapi sanksi sepihak yang ilegal dan mengabaikan dolar adalah sebuah pilihan. Namun Afghanistan masih perlu melakukan upaya untuk mengkonversi mata uangnya,” kata Duta Besar Rusia untuk Afghanistan Dmitry Zhirnov kepada kantor berita TASS pada hari Sabtu. (20/7/2024).
Menurut Zhirnov, hubungan ekonomi antara Rusia dan Afghanistan, serta volume perdagangan antar negara, semakin meningkat. “Ekspor kita berkembang pesat,” tambahnya.
Penggunaan mata uang lokal untuk transaksi perdagangan dengan mitra Rusia semakin intensif. Rusia telah mendorong penggunaan mata uang lokal untuk perdagangan, seperti halnya negara-negara Asia Tenggara seperti Iran, Turki, dan bahkan Vietnam.
Faktanya, 95% transaksi perdagangan dengan Tiongkok dilakukan dalam rubel dan yuan. Demikian pula 92% perdagangan Rusia dengan SCO yang terdiri dari Tiongkok, India, Iran, Kazakhstan, Rusia, Kyrgyzstan, Pakistan, Tajikistan, Uzbekistan dan anggota terbarunya, Belarus, menggunakan mata uang lokal.
Agenda de-dolarisasi dimulai ketika Rusia dan Tiongkok menunjukkan kepada negara-negara berkembang bahwa perekonomian mereka terancam oleh Amerika Serikat, yang menurut mereka telah mempersenjatai mata uang cadangan terpenting di dunia. Mereka meyakinkan negara-negara lain bahwa AS dapat menjatuhkan sanksi terhadap perekonomian mereka kapan saja.
Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia bahwa perekonomian mereka rentan dan mereka perlu melindungi mata uang mereka terhadap dolar AS. Semakin banyak negara yang mengadakan perjanjian dan beralih ke mata uang lokal untuk mengatur transaksi perdagangan antar negara.