dianrakyat.co.id, Jakarta – Kabupaten Lombok Barat mencatatkan jumlah pernikahan anak lebih banyak, hingga 233 pada tahun 2023.
Informasi ini dipublikasikan oleh Pemerintahan Umum Lombok Barat, Keluarga Berencana, Departemen Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A).
Dalam rapat gabungan pengawasan pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Lombok Barat dengan pemangku kepentingan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan banyak penyebab permasalahan. Salah satunya adalah salah tafsir terhadap adat istiadat.
Banyak warga bahkan tokoh desa, termasuk kepala desa, yang belum memahami adat nikah (merariq) atau perkawinan itu sendiri. Dimana peraturannya tidak memperbolehkan merariq (kodeq) untuk anak-anak.
Menurut Dewan Adat Sasak, Awiq-awiq atau aturan administratif adalah hal-hal yang dilarang atau tidak diperbolehkan oleh para wali. Oleh karena itu, bila anak melakukan kesalahan maka orang tua yang memikul tanggung jawab tersebut harus dihukum.
Kurangnya pemahaman terhadap makna adat menjadi penyebab utama terjadinya perkawinan anak di Kabupaten Lombok Barat.
Selain itu, dampak utamanya adalah kurangnya pola asuh yang baik dalam keluarga, pasar keuangan, kesuburan yang buruk, konten pornografi, serta wilayah dimana di beberapa daerah pedesaan, akses terhadap informasi, pendidikan dan layanan kesehatan terbatas, sehingga anak perempuan kebanyakan menikah di usia muda, kata Presiden KPAI Ai Rahmayanti saat ditemui di Pengadilan Agama Giri Menang, Selasa (09/10/2024).
Ai Rahmayanti menambahkan, untuk mencegah perkawinan anak, perlu diberikan pemahaman kepada orang tua bahwa anak tidak diperbolehkan. Kepala desa harus bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap kepala desa atau anggota keluarga lainnya dalam perkawinan anak.
Peran keluarga sangat penting dalam mencegah pernikahan anak di Indonesia. Keluarga menjadi landasan penting untuk mempelajari dan memahami dampak pernikahan anak, serta motivasi, lanjut Ai.
Rapat pembahasan dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Agama Giri Menang, Moch. Syah Arianto didampingi Asisten Bupati Lombok Barat I Suherman.
Moch. Syah Arianto mengatakan, rendahnya jumlah permohonan pembebasan menikah bukan berarti jumlah anak yang menikah pun sedikit. Memang masih banyak kasus perkawinan anak di lapangan yang tidak terdokumentasi.
“Jadi kita berkumpul untuk berbagi informasi dan saran antar pemangku kepentingan untuk mengurangi pernikahan anak di wilayah Lombok Barat,” kata Moch Syah.
Dalam menurunkan angka pernikahan anak di Indonesia, pihak lain yang dianggap bertanggung jawab adalah lembaga swadaya masyarakat atau LSM.
Merupakan organisasi kemasyarakatan yang mencakup banyak hal mulai dari advokasi, pendidikan, dukungan finansial hingga pemberian bantuan langsung kepada korban pernikahan anak. Salah satu LSM yang berperan di Line. Lombok Barat adalah rencana Indonesia.
Mohammad Wildane yang merupakan Project Manager Gema Cita, Plan Indonesia menyampaikan beberapa poin mengenai upaya menurunkan angka pernikahan anak di wilayah tersebut. Lombok Barat. Salah satunya melalui program Gema Cita (Generasi Emas Bangsa Bebas Pernikahan Anak) dengan berbagai cara, misalnya dengan membantu 5 sekolah dan 2 desa di Line. Lombok Barat.
“Pertama, dengan mengembangkan lembaga pelatihan tentang kebijakan seks dan kesehatan, kita memiliki konselor. Kemudian ada guru dan juga banyak siswa muda yang mengikuti diskusi sebanyak 18 kali.”
Kedua, dukungan lingkungan hidup yaitu perlindungan anak di masyarakat (PATBM), kelompok anak di sekolah dan pertemuan atau pelatihan dengan orang tua, jelas Wildane.
Wildane menambahkan, pihaknya juga telah melakukan kerja advokasi, termasuk mengorganisir dukungan terhadap generasi muda agar bisa melakukan kerja suportif. Dan menyiapkan kebijakan singkat yang dikirimkan kepada pemerintah daerah tentang rekomendasi perlindungan anak. Salah satu solusinya adalah dengan meninjau undang-undang yang ada dan memberikan rekomendasi untuk anak-anak serta rekomendasi mengenai apa yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk melindungi anak-anak.
KPAI mengapresiasi berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi pernikahan anak di Lombok Barat. Namun, permasalahan pernikahan anak di wilayah tersebut tetap ada. Lombok Barat berkaitan dengan pemahaman budaya dan agama di masyarakat. Jadi, bila terjadi perkawinan anak atas nama budaya dan agama, diharapkan aparat setempat, DP2KBP3A, UPTD PPA, pengadilan agama, dan hakim ahli bisa memutusnya.
Pihak berwenang harus menetapkan undang-undang dan memberikan hukuman yang dapat mencegah dan mengurangi pernikahan anak.
“Ke depan, kerja sama organisasi adat, organisasi keagamaan, dan organisasi kemasyarakatan akan terus berperan penting dalam pencegahan perkawinan anak,” harap Ai.