dianrakyat.co.id, Jakarta Pemerintah berencana mengubah mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi menjadi bantuan tunai langsung kepada petani. Namun opsi tersebut disebut rawan kegagalan dalam mencapai tujuannya.
Tauhid Ahmad, Ekonom Institute of Economic Development and Finance (INDEF), menyoroti data petani penerima pupuk bersubsidi. Ditemukan setidaknya 24 juta petani di Indonesia tergolong penerima subsidi.
Sayangnya, kata dia, datanya cukup beragam. Misalnya saja area persawahan atau kebun budidaya. Bahkan melalui program penyaluran pupuk bersubsidi yang sudah ada, masih banyak yang belum mampu mencapai targetnya. “Tentu saja kelebihan dan kekurangan dari mekanisme subsidi ini adalah secara umum akan menurunkan harga pupuk. Namun, subsidi mungkin berada pada arah yang salah karena petani yang membeli lebih dari setengah hektar lahan cenderung membeli lebih banyak pupuk. dan subsidi benih dibandingkan dengan yang berada di sisi bawah,” kata Tauhid, penghubung di Jakarta, Jumat (8 September 2024).
Dia mengatakan, perubahan rencana menjadi bantuan langsung tunai (BLT) tidak akan menutup kesenjangan dalam pencapaian target. Jangan lupa, dana besar dialokasikan untuk subsidi pupuk kepada petani.
“Kita punya 24 juta petani,” jelasnya. “Kalau menggunakan data tersebut, misalnya, penggunaan BLT masih belum tepat sasaran, terutama bagi petani kaya yang berurusan dengan pupuk bersubsidi.”
Tauhid melanjutkan: “Yah, menurut saya, dan ini sedang tren, apalagi rata-rata subsidi pupuk adalah Rp 30 triliun, itu angka yang sangat besar.” Ini digunakan untuk melunasi hutang
Ia menegaskan, subsidi pupuk tidak bisa disamakan dengan subsidi sosial (bansos). Pasalnya, subsidi pupuk mempunyai tujuan yang terukur, misalnya meningkatkan produksi pertanian.
“Anda tidak dapat memastikan bahwa dana tersebut akan disalurkan ke arah yang benar. Apa yang akan terjadi mungkin akan membuahkan hasil. Benarkah demikian? Kalau petani tidak mampu bayar, sering kali mereka siapkan pupuk dulu, bayar utangnya, baru utangnya bertambah,” tegasnya.
Senada dengan itu, CEO Segara Institute Peter Abdullah juga menyoroti persoalan informasi yang tidak dapat diandalkan mengenai petani bersubsidi. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi kelemahan jika subsidi pupuk diterapkan seperti program BLT.
“Saya kira skema BLT ini bukan solusi yang terbaik. Jadi datanya tetap penting. Itu sangat ditentukan oleh data. Kita tahu, BLT sendiri banyak kritiknya, banyak kendalanya. Kalau kita pakai model BLT. , kami akan meniru apa yang terjadi pada BLT. “Kami tahu bagaimana orang yang membutuhkan BLT tidak membelinya, tapi orang yang tidak membutuhkan akan membelinya dua kali,” ujarnya.
Selain itu, Peter menegaskan petani tidak terlalu membutuhkan subsidi. Ia meyakini yang terpenting adalah harga pupuk yang dipasok bisa mendatangkan keuntungan saat menjual produknya.
“Petani tidak butuh subsidi, mereka tidak butuh subsidi. Namun mereka harus memastikan bahwa harga yang mereka pasang di pasar membuat mereka mendapat untung. Selama mereka mendapat untung, untung mereka cukup besar, mereka bisa membayar. Biarkan mereka membeli pupuk sendiri,” ujarnya.
Ia khawatir pemberian BLT kepada petani justru menduplikasi program BLT lainnya. Anda tidak perlu membeli pupuk, namun menggunakannya untuk mengkonsumsi tanaman lain, karena pemantauan pasca distribusi tidak diperlukan.
“Iya, akan sama terus-menerus. Bedanya, itu dukungan subsidi pupuk, itu bantuan langsung tunai. Tapi sama saja, mereka dapat uang, lalu bisa dibelanjakan. Mungkin tidak.” apa yang mereka belanjakan.” Kayak pupuk ya,” jelas Peter.
Untuk solusinya, Tauhid dan Peter sama-sama menekankan pentingnya memperbanyak informasi mengenai petani bersubsidi. Pasalnya, informasi tersebut nantinya akan menjadi referensi di lapangan.
Tauhid memberikan sedikitnya lima catatan penting. Pertama, periksa informasi tentang penerima manfaat. Kedua, sinkronisasi data kelompok tani dengan data desa yang terverifikasi. Ketiga, penyaluran pupuk disubsidi melalui operator logistik atau perangkat desa.
Keempat, mekanisme yang tepat untuk mencapai tujuan produksi. Kelima, memperkuat mekanisme dari otoritas pusat hingga kabupaten dan komunal.
“Itulah sebabnya kita perlu memikirkan partisipasi yang lebih kuat di tingkat daerah,” katanya: “Khususnya, pejabat lingkungan hidup tidak boleh melakukan pemupukan. Memperluas pertanian itu sangat penting. Karena ada banyak titik di mana penggunaan pupuk yang berlebihan tidak efektif. Saya kira ini sangat penting.”
Sementara itu, para petani perlu meningkatkan keterampilannya di bidang pertanian, seperti teknik bercocok tanam terhadap tanaman yang dihasilkannya. “Misalnya penggunaan pupuk yang lebih hemat, memilih produk yang lebih menguntungkan, belum tentu pangan, tapi harus diperhatikan hal-hal lain,” ujarnya.
Sementara itu, Peter Abdullah menekankan agar pemerintah menyiapkan rencana yang dapat memberikan manfaat bagi petani. Dapat dikatakan hasil produksi dan keuntungan pasti akan tercapai.
“Yang paling dibutuhkan petani adalah cara menjual produk pertaniannya. Produsen beras harus percaya pada bos, mereka menjual beras, mereka menjual beras dengan harga yang bagus,” kata Peter.
“Ini poin terpenting di bidang pertanian. Tidak perlu mempersiapkan apa pun. Pemerintah harus melakukan ini, bagaimana mengembangkan sistem mekanisme untuk memastikan harga produk pertanian lebih tinggi atau memberikan peluang perdagangan yang lebih tinggi bagi petani.” katanya untuk menyimpulkan.