dianrakyat.co.id, JAKARTA – Industri perbankan nasional sebagai salah satu sektor utama penopang perekonomian negara dinilai paling sigap menghadapi tantangan dan peluang perekonomian ke depan, sehingga kondisi perekonomian Indonesia bisa lebih terjaga. Hal tersebut ditegaskan Ketua Umum Organisasi Perhimpunan Bank Nasional (PERBANAS) Hery Gunardi pada jamuan makan malam PERBANAS CFO FORUM II-2024 di Bali pada Kamis (1/8/2024).
Hery yang juga Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau BSI menjelaskan dinamika perekonomian dan keuangan berubah dengan cepat, baik secara global maupun nasional. Hal ini tentu membuka tantangan dan peluang besar bagi industri perbankan. Karena terfragmentasinya fungsi ekonomi global dan penurunan inflasi yang terhambat oleh inflasi harga jasa merupakan masalah utama.
Mengutip data Ekonomi Dunia Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan PDB dunia pada tahun ini diperkirakan berkisar 3,2 persen. Peningkatan ini sama dengan tahun lalu, namun masih lebih kecil dibandingkan tahun 2021 dan 2022 yang masing-masing sebesar 6,5 persen dan 3,5 persen.
Selain itu, eskalasi geopolitik menambah ketidakpastian yang membayangi prospek perekonomian di masa depan. Dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi dan politik global, banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), telah mengadopsi kebijakan suku bunga tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. .panjang,” kata Hery dalam keterangannya, Jumat (8/2/2024).
Pemilihan presiden di banyak negara pada tahun 2024 dan tahun depan, termasuk Amerika Serikat, juga meningkatkan ketidakpastian arah kebijakan moneter dan fiskal global. Namun Bank Dunia dan IMF memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh sebesar 5 persen pada tahun 2024. Proyeksi tersebut didukung oleh permintaan domestik.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tanah Air pada tahun 2024 akan tetap baik yakni pada kisaran 4,7-5,5 persen. Penilaian tersebut didukung oleh stabilnya konsumsi domestik dan iklim investasi yang positif.
“Konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap kuat meski ada indikasi sedikit penurunan pada triwulan II-2024. Hal ini terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen dan penjualan ritel yang tumbuh relatif lebih lambat. Investasi juga diperkirakan tetap kuat sejalan dengan PMI Manufaktur yang masih berada pada zona ekspansi,” lanjutnya.
Ia juga menegaskan, dalam kondisi suku bunga tinggi, likuiditas makro mengalami penurunan. Namun tetap baik ditunjukkan dengan rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (DPK) yang menurun namun tetap tinggi. Ia mengatakan, likuiditas yang masih mencukupi secara makro mendorong intermediasi perbankan terus tumbuh solid karena didukung kebijakan makroprudensial yang akomodatif.
Namun tantangannya, pertumbuhan kredit akan dibarengi dengan peningkatan kredit bermasalah (NPL). Hal ini tentu meningkatkan risiko credit spread yang perlu terus diwaspadai. Selain itu, tantangan likuiditas, khususnya terkait pembiayaan perbankan, perlu dicermati ke depannya.
Data BI menunjukkan pertumbuhan kredit pada Juni 2024 meningkat menjadi 12,36 persen secara tahunan/year-over-year (yy). Pertumbuhan ini didorong oleh kuatnya pasokan dan permintaan, terutama didukung oleh kredit korporasi. Sedangkan pertumbuhan DPK pada periode yang sama sebesar 8,45 persen per tahun. Sedangkan rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) sebesar 85,74 persen.
Hery mengatakan ke depan, imbal hasil dari SRBI akan sangat menarik sebagai upaya stabilisasi nilai tukar rupiah. Penerbitan SBN juga tinggi mengingat banyaknya obligasi pemerintah yang jatuh tempo dalam 3 tahun ke depan.
“Jadi perbankan harus terus berinovasi untuk menarik dana yang kemudian digunakan untuk penyaluran kredit. Salah satu dampaknya adalah potensi peningkatan cost of fund bank. Kenaikan cost of fund berpotensi mempengaruhi net margin bunga perbankan, yang akan menyusut,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, di sisi lain, transisi menuju pembangunan yang lebih hijau dan berkelanjutan menjadi semakin mendesak dan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini juga mendorong industri perbankan untuk menyediakan pendanaan yang konsisten dengan prinsip keberlanjutan.
Perumusan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan komitmen nyata dalam mendukung keuangan ramah lingkungan. Panduan ini, kata Hery, membantu bank mengidentifikasi aktivitas yang tergolong berkelanjutan terhadap pembiayaan. Tujuannya adalah untuk mendorong pembiayaan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Sebagai penggerak utama intermediasi keuangan di Indonesia, bank mempunyai peran penting dalam transformasi pembangunan yang lebih berkelanjutan. Keseriusan perbankan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan ditandai dengan tumbuhnya portofolio pinjaman berkelanjutan dan berkembangnya produk keuangan stabil. “, katanya.
Dalam hal ini, bank secara aktif menerapkan prinsip-prinsip lingkungan hidup, sosial dan tata kelola (ESG) dalam operasionalnya. Artinya menunjukkan komitmen terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan. BI memperkirakan diperlukan pembiayaan sebesar US$281 miliar agar Indonesia dapat mencapai target Nationally Defined Contributions (NDC) pada tahun 2030. NDC sendiri merupakan komitmen yang disiapkan oleh negara-negara pihak yang telah meratifikasi ‘Perjanjian Paris untuk berkontribusi terhadap pengurangan gas rumah kaca. . (GRK).
Data bank sentral juga terus menunjukkan pertumbuhan green finance yang saat ini fokus pada bank-bank besar. Pada Desember 2023, secara year-to-date (ytd) naik 15,63 persen. Angka tersebut berkisar Rp500 triliun dari 41 bank, mencakup 83,4 persen total pangsa kredit perbankan pada Desember 2023. Sektor yang dibiayai antara lain energi terbarukan, pembangkit listrik tenaga air, transportasi ramah lingkungan, dan industri produk ramah lingkungan.
Selain itu, Hary juga memperhatikan transformasi digital dalam berbagai aktivitas yang memungkinkan inovasi lebih cepat. Ia mengatakan pemanfaatan teknologi digital membuka peluang bagi perbankan untuk meningkatkan efisiensi, mengembangkan produk baru, dan memberikan layanan yang lebih baik. Namun perkembangan teknologi digital juga menghadirkan tantangan, seperti ancaman serangan siber yang semakin canggih.
Oleh karena itu, ia menegaskan, dalam menghadapi dinamika perekonomian dan keuangan saat ini, para pelaku industri harus menerapkan gaya kerja agile untuk bergerak dan merespon perubahan dengan cepat. Sebab bank yang mampu beradaptasi dengan cepat akan memiliki keunggulan kompetitif dalam menghadapi tantangan. Anda juga bisa memanfaatkan peluang di tengah pesatnya perubahan di zaman yang semakin modern.
“Transformasi menuju ekonomi hijau dan digital bukan hanya sebuah tantangan, namun juga peluang emas untuk menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif,” tutupnya.