0 0
Read Time:2 Minute, 3 Second

dianrakyat.co.id, Jakarta – Penggunaan rokok dan dampak negatifnya masih menjadi perdebatan nasional bahkan internasional. Perdebatan ini nampaknya semakin berkembang seiring dengan munculnya tren baru yaitu rokok elektrik.

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, rokok elektronik adalah salah satu Produk Tembakau Lain (HPTL) atau produk sintetik dengan atau tanpa bahan tambahan nikotin dan aromatik yang digunakan dengan cara menghirup uap atau cairan panas dari alat pemanas elektronik.

Bentuk rokok elektrik pun bermacam-macam. Dari uap, kapsul, uap, uap elektro dll. 

Popularitas produk tembakau ini mungkin menjangkau anak-anak dan remaja. Direktur P2PTM (Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular) Kementerian Kesehatan Eva Susanti, S.Kp., M.Kes mengatakan, terjadi peningkatan signifikan penggunaan rokok elektrik di Indonesia.

“Ada peningkatan signifikan penggunaan rokok elektronik sebesar 10 kali lipat. Dari 0,3 persen menjadi 3,0 persen. Jadi mungkin ada kecenderungan anak-anak beralih dari penggunaan rokok tradisional ke rokok elektronik,” ujarnya kepada World World 2024. konferensi. Tidak Ada Media Temu Hari Tembakau di Jakarta (29/05/2024).

Terkait rentang usia perokok (konvensional dan elektrik) di Indonesia yang tertinggi adalah 15-19 tahun sebesar 56,5 persen. Kemudian 10-14 tahun sebesar 18,4 persen dan 13-15 tahun sebesar 19,2 persen.

“Di Indonesia, kita menghadapi bahaya peningkatan perokok aktif akibat gencarnya pemasaran produk di kalangan masyarakat, khususnya remaja,” lanjut Eva.

Eva menegaskan, faktor utama meningkatnya jumlah remaja yang merokok di Indonesia adalah tren atau popularitas berbagai jenis produk tembakau.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Begitu pula dengan populasi anak di dalamnya. Namun siapa sangka, ada fakta mengejutkan mengenai banyaknya anak yang merokok di Indonesia. 

“Karena jumlah penduduk kita tinggi, termasuk populasi anak-anak, tentu jumlahnya (anak yang merokok) sangat tinggi. Jumlah anak kita yang merokok sama besarnya dengan jumlah penduduk Singapura,” jelas Eva dengan nada khawatir.

Hal ini menjadi peringatan bagi seluruh lapisan masyarakat bahwa kita harus bekerja sama untuk menurunkan angka tersebut.

Lebih lanjut Eva menjelaskan, jika hal tersebut tidak segera ditindaklanjuti, ia khawatir Indonesia tidak siap menghadapi bonus demografi pada tahun 2030.

Peningkatan signifikan jumlah perokok anak di Indonesia, khususnya rokok elektronik, tidak jauh dari pengaruh iklan internet dan media sosial. 

Eva mengatakan, saat menjelajah internet dan jejaring sosial, anak-anak yang belum matang mentalnya lebih mudah terpengaruh.

“Jika kita melihat hasil survei, nampaknya paparan iklan dan misinformasi di Internet mempengaruhi sekitar 60 persen anak-anak untuk merokok.”

Hal ini tentunya akan semakin parah jika anak tidak mendapatkan bantuan dari orang tuanya dalam menggunakan internet dan jejaring sosial. 

 

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
PAY4D