0 0
Read Time:3 Minute, 45 Second

dianrakyat.co.id, Jakarta – Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Manco Marbas) Luhut Binsar Pandjaitan terkait ketidakmampuan operator telekomunikasi tanah air bersaing dengan Starlink dinilai pengamat telekomunikasi Agung Harasuyu tidak bijaksana.

Ia yakin industri telekomunikasi dunia tidak menentang dan siap bersaing dengan perusahaan besutan Elon Musk itu.

Namun saat ini keadaan perusahaan telekomunikasi di Indonesia kurang sehat karena masih banyak memikul biaya pengelolaan.

“Saat ini jumlah perusahaan telekomunikasi lebih dari 15%. Bahkan batas sehatnya kurang dari 8%,” kata Agong dalam sambutannya, Selasa (18/6/2024).

Guru STEI ITB ini berpendapat, jika Lohut ingin industri telekomunikasi berdaya saing, industrinya harus sehat dulu.

“Asosiasi Komunikasi telah menyusun rencana dan program untuk menyehatkan layanan, namun sejauh ini belum ada respon yang baik dari pemerintah. Dengan kewenangan yang dimiliki saat ini, Lohut harus membantu menyehatkan layanan dengan mengurangi beban biaya pengelolaan yang besar. , “keluhnya.

Agong mengatakan saat ini Starlink hanya memiliki tarif yang sangat rendah. Kominfo hanya mengenakan biaya penggunaan televisi (BHP ISR) di Starlink.

Jumlah BHP ISR yang disuplai Kominfo ke Starlink juga hanya dihitung satu bagian satelit dengan biaya lebih dari Rp 2 miliar per tahun.

“Bahkan, ada lebih dari 200 satelit Starlink yang dikerahkan di Indonesia. Saat ini, BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) yang diambil operator seluler dan dibayarkan kepada perekonomian nasional pada tahun 2023 mencapai Rp 21,1 triliun,” ujarnya. dikatakan. Komisaris BRTI periode 2018-2021.

 

Agong berpendapat pemerintah harus menekan BHP berdasarkan jumlah satelit Indonesia. Sebab saat ini operator satelit dunia dikenakan BHP ISR berdasarkan besaran kepemilikan satelit.

Jika operator memiliki dua satelit maka ia harus membayar BHP ISR sebanyak jumlah satelit yang dimilikinya, sehingga perubahan perhitungan BHP ISR Starlink diapresiasi Agung mampu meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pemerintah dan menciptakan pendapatan yang tidak kena pajak (PNBP). lingkungan yang kompetitif pedagang.

Perubahan cara penghitungan berdasarkan transmisi satelit Starlink ini serupa dengan pemerintah yang memungut PNBP sektor penerbangan berdasarkan jumlah penerbangan di seluruh Indonesia, bukan per penerbangan.

Jika dipertimbangkan strategi BHP ISR terkait satelit yang beroperasi di Indonesia, maka kontribusi Starlink terhadap PNBP dalam bidang informasi telekomunikasi cukup besar.

“Kalau nantinya akan digunakan langsung ke sel, sebaiknya pemerintah menggunakan Starlink dan BHP IPFR sebagai operator seluler. Dengan kewenangan yang dimiliki, saya yakin Luhut bisa menerapkan aturan NGSO (non stasioner). ,” kata Agung.

Agong menambahkan, pembuatan UU NGSO ini sejalan dengan visi dan kiprah Presiden Joko Widodo dan Luhut yang menginginkan investasi Starlink di Indonesia dapat lebih berkontribusi terhadap perekonomian negara.

Selain beban hukum, permasalahan penyediaan layanan Internet di Indonesia yang panas untuk dipantau adalah sulitnya ketersediaan akibat mahalnya biaya penggelaran jaringan fiber optik.

Agong mengatakan, wilayah Indonesia yang kepulauan dan pegunungan membuat biaya pemasangan serat optik di Indonesia menjadi lebih mahal.

“Untuk memastikan tidak terjadi tumpang tindih penyediaan internet di Indonesia, Lohut harus memposisikan Starlink sebagai penyedia peluang bagi operator telekomunikasi yang ingin memberikan layanan ke daerah-daerah yang kesulitan,” ujarnya.

Agong berpendapat, Starlink sebaiknya dipasang sebagai penyedia layanan back-end untuk nantinya digunakan oleh merchant Internet Service Provider (ISP) yang tidak memiliki fiber optik.

“Saya pikir ini adalah solusi yang berguna bagi masyarakat dan industri komunikasi,” tutupnya.

Sebelumnya, XL Axiata telah meminta pemerintah menerapkan aturan serupa jika Starlink menyediakan layanan direct-to-consumer (B2C).

Pasalnya, Starlink saat ini mulai merambah layanan langsung atau menjual layanan internet langsung ke ponsel, dibandingkan hanya menyediakan infrastruktur kepada pelanggan business to business (B2B) dan rumahan. 

Head of Communications and Fixed Assets XL Axiata, Reza Mirza, mengatakan layanan komunikasi direct to cell mirip dengan penjualan direct to konsumen (B2C).

Untuk itu XL berharap pemerintah menerapkan peraturan dan layanan serupa dengan layanan Starlink seperti yang dilakukan perusahaan telekomunikasi Indonesia.

“Langsung ke sel (Starlink), kita harapkan pemerintah membentuk sektor yang sama. Sebaiknya, kita minta kepada pemerintah agar Starlink bekerjasama dengan penyedia atau operator seluler, jadi tidak (menjual jasa) secara langsung. kata Reza saat ditemui di Jakarta, Rabu (5/4/2024).

Reza mengatakan, pihaknya memandang teknologi internet berbasis satelit berdaya rendah seperti Starlink sebagai teknologi baru yang harus kompatibel dengan perusahaan yang sudah ada.

Karena kalau langsung ke pengguna akan berdampak besar pada industri (telepon), ujarnya.

Hanya XL Axiata yang menyampaikan pandangannya terhadap layanan Starlink kepada pelanggan melalui Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI).

Saat ini ATSI yang beranggotakan perusahaan telekomunikasi di Indonesia sedang menunggu instruksi pemerintah mengenai hal tersebut.

Meski ada keraguan mengenai ketersediaan dukungan langsung Starlink bagi pelanggan, XL Axiata terbuka untuk kerja sama komersial dan bisnis dengan Starlink sebagai penyedia layanan internet satelit.

“Kami terbuka untuk kerja sama dengan Starlink, tapi belum tahu konkritnya seperti apa. Kami terbuka untuk kerja sama B2B,” ujarnya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
PAY4D