dianrakyat.co.id, Jakarta – Selain menyakiti diri sendiri secara langsung, kini ada istilah digital self-harm atau digital self-harm.
Ini adalah saat seseorang memposting komentar yang menyakitkan atau ancaman yang tidak bersifat bunuh diri secara online.
Ini biasanya merupakan bentuk penindasan maya. Bedanya, alih-alih berfokus pada orang lain di Internet, seseorang cenderung menargetkan dirinya sendiri. Hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik.
“Penelitian juga menemukan bahwa kasus bunuh diri digital dapat menjadi tanda peringatan untuk bunuh diri,” tulis psikolog Smitha Bhandari, MD, mengutip Webmd, Jumat (23/2/2024).
Menurut Smitha, self-harm bisa terjadi di media sosial atau forum online. Asalkan memungkinkan pengguna mengunggah atau berbagi kata, gambar, gambar, dan video.
Biasanya seseorang memposting konten secara anonim atau dengan nama palsu di tempat umum agar dapat dilihat orang lain.
Misalnya, Anda bisa membuka akun media sosial seperti profil Instagram atau Snapchat palsu (akun kedua). Kemudian Anda akan memposting komentar atau postingan di feed Anda yang merugikan diri Anda sendiri.
Mutilasi diri bisa berupa hinaan, seperti “Aku jahat” atau “tidak berguna” dan kata-kata yang bersifat defensif.
Pengguna lain mungkin bereaksi atau berinteraksi dengan postingan tersebut menggunakan komentar, balasan, pertanyaan, atau opsi lain yang tersedia di forum.
Mereka mungkin juga menyukai alam. Hal ini dapat memperburuk tindakan merugikan diri sendiri dan berbahaya.
Trauma digital dapat memengaruhi harga diri. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat menyebabkan kondisi lain seperti depresi dan kecemasan. Dalam kasus lain, depresi atau kecemasan yang dialami seseorang justru dapat menyebabkan mereka melontarkan komentar buruk.
Menurut Smitha, belum banyak penelitian yang dilakukan mengenai topik ini. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa generasi muda lebih cenderung terlibat dalam kejahatan online.
Sebuah penelitian pada tahun 2016 terhadap 5.500 orang berusia antara 12-17 tahun menemukan bahwa 6 persen anak-anak memposting konten berbahaya secara online. Anak laki-laki lebih mungkin melakukan hal tersebut dibandingkan anak perempuan.
Sebuah studi tahun 2017 yang mengamati penghancuran diri secara digital di kalangan remaja usia 13-17 tahun menemukan sebaliknya. Artinya, kaum transgender tiga kali lebih besar kemungkinannya untuk terlibat tindakan menyakiti diri sendiri.
Studi ini juga menemukan bahwa remaja dengan satu atau lebih disabilitas lebih cenderung terlibat dalam perilaku ini secara online.
Remaja dengan gejala depresi, tindakan menyakiti diri sendiri, atau mereka yang memiliki masalah kesehatan mental lebih cenderung memposting konten yang merugikan diri sendiri secara anonim.
Polusi digital dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Karena kepercayaan dan keyakinan telah menurun. Aktivitas ini juga bisa menjadi tanda memburuknya kesehatan mental.
Para ahli menemukan bahwa kekurangan digital seringkali menjadi faktor risiko masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, penurunan prestasi sekolah, penurunan produktivitas, masalah penyalahgunaan narkoba, dan depresi.
Bunuh diri bukanlah solusi, hanya solusi atas segala persoalan hidup yang selalu menekan Anda. Jika Anda, teman, saudara atau kenalan Anda sedang mengalami masa sulit dan Anda kewalahan serta merasa ingin bunuh diri, sangat disarankan untuk menghubungi psikiater di pusat kesehatan terdekat (Puskesmas atau Rumah Sakit).
Anda juga dapat mengunduh aplikasi teman saya: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.tldigital.my friends
Atau menghubungi call center Kementerian Kesehatan 24 jam 1500-567 yang melayani protes, permintaan dan usulan masyarakat.
Anda juga dapat mengirimkan SMS ke 081281562620, fax (021) 5223002, 52921669 dan alamat email (email) [email protected].