JAKARTA – Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) menyelenggarakan kongres ke-41 di Jakarta. Tema krusial yang dibahas dalam kongres tersebut adalah terkait dengan dampak penting kurikulum pengajaran dengan maraknya fenomena kerapuhan mental di kampus-kampus dan di masa-masa disruptif.
APTIK merupakan gabungan dari 22 yayasan pendidikan Katolik di seluruh Indonesia yang mengoperasikan puluhan universitas Katolik. Anggotanya adalah Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Universitas Parahyangan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, Universitas Katolik Widya Mandira, Universitas STIKES Katolik St. Vincentius dan Paulo Surabaya, Universitas Katolik Santo Thomas, Universitas Katolik Widya Karya Malang, Universitas AtmaJaya Makassar.
Selain itu Universitas Katolik Soegijapranata, Universitas Katolik Widya Mandala Madiun, Universitas Katolik Musi Charitas, Universitas Katolik St. Carolus, Universitas Katolik De La Selle, Universitas Widya Dharma Pontianak, Universitas Katolik Darma Cendika, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Stella Maris Makassar, Gunung Maria Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tomohon, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Weetebula Sumba Barat Daya, STIkes Santa Elisabeth Medan, Universitas Santo Borromeus dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panti Rapih Yogyakarta.
Baca juga: RS Unpad di Kampus Jatinangor akan beroperasi akhir Maret 2024
Selain permasalahan kesehatan mental, topik yang dibahas dalam kongres tersebut adalah munculnya paradigma baru “BANI” (Fragile, Anxiety, Nonlinear and Illusion of Predictability) yang menggantikan konsep lama VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity,) dan Ambiguitas) sebagai era terakhir yang destruktif. Unika Atma Jaya Jakarta akan menjadi tuan rumah kongres yang berlangsung pada 21 hingga 23 Maret 2024.
Ketua APTIK, Prof. Dr. Kusbiantoro mengatakan, selain membahas fenomena terkini era disrupsi, ada juga sejumlah isu serius lainnya yang menjadi agenda kongres, seperti kerja sama yang intens dalam skala yang lebih besar, tidak hanya di tingkat siswa dan guru. , tetapi juga pemanfaatan aset kampus yang lebih tinggi untuk kepentingan bersama.
Kemudian mengenai pelaksanaan program double title dengan universitas ternama luar negeri lainnya.
Baca Juga: Bisakah SNBP Wallet 2024 Diisi Ulang di SNBT?
Paradigma VUCA mendominasi pemikiran global pada awal tahun 1990-an dan kini telah bertransisi ke paradigma BANI yang muncul sejak tahun 2020 menyusul dampak globalisasi yang menciptakan kompleksitas dan ketidakpastian yang meluas di seluruh dunia. Konsep BANI yang Rapuh menimbulkan ilusi kekuatan, yaitu persepsi bahwa lembaga yang kita anggap kuat ternyata rapuh.
Sedangkan rasa takut menimbulkan ilusi kendali, apa yang diharapkan sangat berbeda dengan kenyataan yang dihadapi.
Sedangkan konsep nonlinier menghasilkan ilusi prediktabilitas, seperti munculnya pandemi Covid-19, pembicaraan GPT, dan disrupsi teknologi lainnya. Dan yang terakhir, mengenai konsep Ilusi Prediktabilitas paradigma BANI yang menghasilkan ilusi pengetahuan, serta banyaknya data dan informasi, justru seolah-olah menghasilkan hoax yang sangat melimpah.
“APTIK merasa perlu mengantisipasi semua itu melalui segala bentuk adaptasi yang diperlukan untuk mencegah kelemahan mental yang kini semakin banyak terjadi di kampus-kampus dalam dan luar negeri. Kecemasan, depresi, dan bunuh diri yang terjadi adalah bagian dari ilusi kontrol. ujarnya, dalam keterangan resmi, Jumat (22/3/2024).