dianrakyat.co.id Jakarta Ratu Inggris Kate Middleton mengaku mengidap kanker, meski tidak terungkap jenisnya.
Princess of Wales mengungkap kondisinya dalam video yang dirilis pada Jumat, 22 Maret 2024. Sebelumnya, publik menanyakan keberadaan Kate yang tak terlihat publik sejak Natal.
Masih banyak hal yang belum terungkap dalam video tersebut, seperti jenis kanker yang dideritanya. Informasi terbaru yang dirilis Istana Kensington adalah sang ratu menjalani operasi perut pada Januari lalu.
“Saya menjalani operasi besar di London pada bulan Januari dan kondisi saya dianggap bebas kanker saat itu,” kata Kate dalam video tersebut.
“Operasinya berhasil. Namun, tes setelah operasi menunjukkan adanya kanker. Oleh karena itu, tim medis saya menyarankan agar saya menjalani kemoterapi pencegahan, dan saya sedang menjalani pengobatan ini.”
Sayangnya, penjelasan pengobatan yang dilakukan belum jelas bahkan bagi para ahli sekalipun.
“Kemoterapi ‘pencegahan’ bukanlah istilah medis,” kata Misagh Karimi, MD, seorang dokter klinis di City of Hope Orange County Lennar Foundation Medical Center di Irvine, California, mengutip Verywell Health, Selasa (26/3/2024).
“Kemoterapi dapat diberikan sebelum atau sesudah perawatan lain.”
Misagh menambahkan, metode kemoterapi preemptif yang dilakukan Kate merupakan kemoterapi adjuvan yang dapat diberikan setelah operasi.
Tujuannya untuk menyasar dan menghancurkan sel-sel kanker yang tidak hancur pada pengobatan pertama. Hal ini akan mengurangi risiko kanker, ujarnya.
Meskipun Kate menjalani operasi pada bulan Januari untuk mengangkat tumor yang kemudian ditemukan bersifat kanker, kemoterapi mungkin diresepkan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker, kata Misagh.
“Bahkan jika operasi, seperti operasi untuk mengangkat kanker, dianjurkan, perawatan pencegahan atau pengobatan tambahan dianjurkan untuk mengurangi risiko kembalinya kanker dan meningkatkan risiko pengobatan,” kata Richard D. Carvajal, MD, asisten profesor . dokter. kepala dan direktur onkologi medis di Northwell Health Cancer Institute.
“Pengobatan ini bisa berupa kemoterapi, pengobatan imunologi, terapi hormon, dan lain-lain,” imbuhnya.
Richard menambahkan, dalam dunia medis juga banyak obat antikanker “kemoprevensi” yang diresepkan.
Kemoprevensi bertujuan untuk mengurangi risiko terkena penyakit kanker atau kanker. Banyak jenis kanker yang dapat dicegah dengan cara ini termasuk payudara, usus besar, dan prostat. Obat untuk mencegah kanker payudara
Untuk mencegah berkembangnya kanker payudara, terdapat obat Soltamox (tamoxifen) dan Evista (raloxifene), serta dua jenis antagonis reseptor estrogen (SERMs).
Obat-obatan ini disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk mencegah kanker payudara pada orang berisiko tinggi berusia 35 tahun ke atas dan wanita pascamenopause.
Arimidex (anastrozole) juga tersedia untuk mencegah kanker payudara setelah menopause.
Saat ini, untuk mencegah berkembangnya kanker usus besar, terdapat obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) mulai dari aspirin hingga Celebrex (celecoxib).
Obat-obatan ini menjanjikan dalam mencegah kanker usus besar dan mengurangi risiko polip, meskipun buktinya tidak meyakinkan. Obat untuk mencegah kanker prostat
Selain itu, untuk mencegah berkembangnya kanker prostat, ada obat finasteride dan dutasteride. Kedua obat ini termasuk dalam golongan obat yang disebut penghambat alfa-reduktase.
Obat ini sedang diteliti untuk mengurangi kanker prostat. Obat-obatan ini memblokir konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT), hormon yang terkait dengan kanker prostat bila meningkat.
Diagnosis Kate bertepatan dengan peningkatan mendadak penyakit kanker di kalangan dewasa muda.
Kanker gastrointestinal, khususnya, meningkat di kalangan orang dewasa di bawah usia 50 tahun, namun kanker payudara, usus besar, dan kolorektal adalah kanker yang paling umum.
Dalam laporan tahun 2024, American Cancer Society menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan kanker paling umum pada kelompok usia di bawah 50 tahun. Pasalnya, penyakit ini lebih sering terjadi dibandingkan sebelumnya.
Meskipun alasan peningkatan risiko di kalangan generasi muda masih belum jelas, para peneliti percaya bahwa kombinasi faktor gaya hidup, seperti mengonsumsi makanan olahan, kurang tidur, dan kurangnya aktivitas fisik, memang terjadi.