dianrakyat.co.id, Jakarta – Perasaan anak yang selalu disalahkan menjadi topik penting yang perlu dipahami dari sudut pandang psikologis. Ketika anak-anak merasa selalu disalahkan, mereka akan menanggung beban emosional yang besar.
Sebuah studi dalam Journal of Child Psychology and Psychiatry menunjukkan bahwa pola asuh yang salah, termasuk menyalahkan anak secara berlebihan, dapat merusak harga diri dan memengaruhi perkembangan mentalnya.
Orang tua dan pendengar yang mendengarkan perasaan anak yang terus-menerus disalahkan hendaknya memahami bahwa sikap menyalahkan tersebut dapat berdampak buruk pada kesehatan mental anak. Anak yang terus-menerus menyalahkan diri sendiri cenderung merasa malu, takut menunjukkan dirinya di depan umum, dan kehilangan harga diri. Selain itu, mereka juga menjadi enggan mengambil inisiatif jika terjadi dampak negatif.
Solusi bagi anak yang mempunyai anak yang selalu disalahkan adalah dengan memberikan dukungan emosional dan lingkungan yang positif. Orang tua perlu menciptakan lingkungan di mana anak merasa didengarkan, dihargai dan mempunyai kesempatan untuk belajar dari kesalahan tanpa rasa takut.
Berdasarkan jurnal penelitian “Effect of Toxic Parenting terhadap Kesehatan Mental Anak” yang diterbitkan oleh Universitas Panca Sakti Makassar, toxic parenting dapat menyebabkan gangguan mental pada anak. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk tidak terlalu menyalahkan anak.
Berikut dianrakyat.co.id ulas lebih dalam cara mengatasi anak yang selalu menyalahkan tumpahan dan contoh tumpahannya, Minggu (27/4/2024).
Mengatasi perasaan anak yang terus-menerus disalahkan adalah pekerjaan yang membutuhkan kasih sayang, kesabaran, dan pengertian. Berikut 7 cara menyikapi situasi ini dengan pendekatan yang tepat dan contoh praktis yang dirangkum dari berbagai sumber: 1. Mendengarkan dengan empati
Ingatlah untuk mendengarkan anak Anda dengan cermat dan penuh empati ketika dia mengungkapkan perasaannya. Biarkan anak Anda berbicara tanpa interupsi dan tunjukkan bahwa Anda mendengarkan dengan kontak mata, mengangguk, dan ekspresi wajah yang mendukung. Misalnya, jika anak Anda berbicara tentang perasaan bersalahnya, cobalah untuk tidak campur tangan dengan pujian atau kritik, tetapi beri dia ruang untuk mengungkapkan perasaannya sepenuhnya. 2. Validasi perasaan anak
Mengakui dan memvalidasi perasaan anak penting dilakukan sebagai cara mengatasi perasaan anak yang terus menerus disalahkan. Itu berarti mengakui bahwa perasaan mereka valid dan masuk akal. Misalnya, jika anak Anda merasa sedih atau marah karena selalu disalahkan, katakan, “Saya bisa mengerti kenapa kamu merasa seperti itu. Pasti sangat sulit bagimu.” Dengan cara ini, anak merasa dihargai dan didukung. 3. Hindari menyalahkan atau menghakimi
Saat merespons ledakan kemarahan anak Anda, hindari bahasa yang menuduh atau menghakimi. Fokus pada perasaannya, bukan tindakannya. Misalnya, jika anak Anda merasa disalahkan atas nilai buruk di sekolah, alih-alih mengatakan, “Kamu harus belajar lebih giat”, cobalah, “Apa yang bisa kami lakukan untuk mengatasi masalah ini?” Ini menunjukkan bahwa Anda berada di pihak mereka. dan bukan melawan mereka. 4. Mendorong komunikasi terbuka
Dorong anak untuk selalu menceritakan perasaan dan pengalamannya. Ciptakan lingkungan di mana anak-anak merasa aman untuk mengekspresikan diri tanpa takut dihukum atau disalahkan. Misalnya, luangkan waktu tertentu setiap hari untuk berbicara dengan anak Anda tentang bagaimana harinya, dan dengarkan tanpa menghakimi atau menyela. 5. Memberikan dukungan positif
Berikan dukungan dan feedback positif pada anak sebagai salah satu cara mengatasi perasaan anak yang selalu disalahkan. Hal ini bisa berupa pujian, dorongan atau penghargaan atas usaha mereka, bukan hanya hasil. Misalnya, jika anak Anda merasa bersalah karena gagal dalam ujian, berikan penghargaan atas usahanya dan bantu mereka merencanakan cara mengatasi tantangan pada waktunya 6. Mengajarkan Keterampilan Manajemen Stres
Ajari anak keterampilan mengatasi stres dan kecemasan, seperti teknik pernapasan, meditasi, atau aktivitas fisik. Sebagai contoh cara mengatasi sikap memberontak anak yang selalu menyalahkan dirinya, Anda bisa mengajak anak jalan-jalan atau berolahraga bersama untuk membantunya menghilangkan stres. Dengan menyediakan alat-alat ini, anak-anak memiliki cara yang sehat untuk mengatasi stres dan ketegangan yang mungkin mereka hadapi. 7. Carilah bantuan profesional
Jika masalah menyalahkan anak terlalu parah atau menimbulkan dampak negatif pada kesehatan mental anak, carilah bantuan profesional seperti psikolog anak atau konselor keluarga. Misalnya, jika seorang anak menunjukkan gejala depresi atau kecemasan parah, penting untuk segera mencari bantuan dari profesional yang terlatih untuk menangani masalah ini.
Ledakan emosi pada anak yang selalu disalahkan sering kali mencerminkan perasaan frustasi, sedih, dan ketidakadilan yang dialami anak di lingkungan keluarga atau sekolah. Ketika anak merasa terus-menerus disalahkan atas hal-hal yang di luar kendalinya atau bukan sepenuhnya kesalahannya, hal itu dapat memengaruhi kesehatan mental dan emosionalnya.
Berikut 10 contoh perasaan anak yang selalu menyalahkan yang menggambarkan perasaannya saat berada dalam situasi seperti itu: “Setiap ada masalah di rumah, entah kenapa selalu aku yang disalahkan.” Anak merasa, setiap konflik atau masalah di rumah selalu ditujukan kepada dirinya, tanpa alasan yang jelas. “Aku sudah berusaha semaksimal mungkin di sekolah, tapi orang tuaku tetap bilang aku malas.” Anak merasa usahanya tidak pernah cukup, dan orang tuanya selalu merasa kurang berusaha. “Saudara-saudaraku bisa melakukan apa saja, tapi aku tidak harus melakukan hal yang sama.” Anak merasa diperlakukan berbeda dengan saudaranya dan merasa disalahkan atas hal-hal yang diperbolehkan kepada orang lain. “Aku sudah bantu-bantu di rumah, tapi ibu selalu bilang aku yang bikin masalah.” Anak-anak merasa usaha membantu itu tidak dihargai, malah dianggap sebagai beban atau masalah. “Ayah selalu menyalahkanku dengan marah, padahal tidak. salahku.” Anak merasa dirinyalah yang menjadi sasaran kemarahan orang tuanya, padahal hal tersebut tidak ada hubungannya dengan masalahnya. “Mereka menyalahkan saya atas nilai yang buruk, tetapi mereka tidak pernah membantu saya belajar.” Anak merasa orang tua menginginkan hasil akademis tanpa memberikan dukungan atau bantuan yang cukup. “Setiap kali orang tuaku bertengkar, mereka menyalahkanku karena mereka bilang akulah penyebabnya. ” Anak-anak merasa menjadi kambing hitam dalam konflik antar orang tua, padahal mereka tidak ada sangkut pautnya dengan masalah tersebut. “Saya merasa tidak pernah benar di mata orang tua saya. Anak-anak berpikir bahwa apa pun yang dilakukannya selalu salah di mata orang tuanya, tidak ada ruang untuk kesalahan atau pembelajaran. “Mereka menyalahkan saya karena rumahnya sangat sulit padahal saya sudah membersihkannya. Anak merasa dirinyalah yang harus disalahkan atas tindakan yang sebenarnya dilakukannya, hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam cara orang tua menangani tanggung jawab. “Saya tidak bisa menyenangkan mereka, selalu ada yang salah dengan apa yang saya lakukan.” Anak merasa usaha dan tindakannya selalu salah di mata orang tuanya sehingga membuat mereka merasa tidak pernah cukup baik.
Contoh-contoh menumpahkan ini menunjukkan bagaimana anak-anak bisa merasa stres dan tidak berharga jika mereka selalu disalahkan, bahkan ketika mereka sudah berusaha sebaik mungkin. Curahan hati ini menyoroti perlunya mendengarkan anak-anak dan memahami pandangan mereka guna membangun hubungan yang lebih sehat dan suportif.
Curahan hati anak yang terus-menerus disalahkan mungkin mencerminkan tekanan dan beban emosional yang ia rasakan. Ketika anak merasa terus-menerus disalahkan atas hal-hal yang bukan kesalahannya, atau karena kesalahan kecil yang seharusnya tidak menimbulkan masalah besar, hal ini dapat memengaruhi kesehatan mental dan harga dirinya.
Berikut 10 contoh luapan emosi anak yang selalu disalahkan yang menunjukkan pergumulan dan permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari: “Aku selalu disalahkan kalau kakakku menangis padahal aku tidak melakukan apa pun yang patut dia salahkan.” sesuatu yang bukan salahnya, hanya karena adiknya lebih muda atau lebih sensitif. “Kalau mereka lupa kalau aku ini sesuatu, mereka bilang aku ceroboh. Tapi kalau orang tuanya lupa, katanya biasa saja.” Anak merasa ada standar berbeda yang diterapkan padanya, sehingga menimbulkan perasaan tidak adil dan frustasi. “Saya disalahkan karena kamarnya berantakan, padahal saya sudah berusaha membereskannya. Anak-anak merasa usahanya menjaga kebersihan dan ketertiban tidak dihargai dan malah disalahkan karena tidak sempurna. “Orang tua saya selalu menyalahkan saya jika saya terlambat, tetapi mereka tidak pernah membuat saya tepat waktu.” Anak-anak merasa disalahkan atas suatu hal, yang mana berada di luar kendali mereka karena kurangnya dukungan orang tua. “Saya bilang saya takut kegelapan tapi mereka menyuruh saya berhenti bersikap seperti anak kecil. Anak merasa bersalah karena mengalami ketakutan atau kecemasan yang wajar terjadi pada usianya, tanpa dukungan atau simpati. “Setiap ada yang rusak di rumah, saya yang disalahkan, padahal bukan saya yang merusaknya. “Anak merasa menjadi kambing hitam atas masalah yang tidak ada kaitannya dengan dirinya. “Mereka menyalahkan saya ketika nilai saya di sekolah buruk, tetapi mereka tidak pernah membantu saya belajar.” Anak-anak merasa bahwa orang tua hanya fokus pada hasil akhir, tanpa mempedulikan proses dan usaha yang dilakukan anak. “Saya selalu disalahkan jika ada yang tidak beres di dapur, padahal saya tidak pernah memasak.” Anak itu merasa disalahkan atas kesalahan yang tidak bisa dia lakukan karena itu bukan tugasnya bilang aku hanya mencari perhatian.” Anak merasa upayanya dalam berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan diabaikan atau dianggap tidak penting. “Saya selalu disalahkan jika teman saya menimbulkan masalah, meskipun saya tidak terlibat.” Anak merasa disalahkan atas tindakan orang lain hanya karena dekat dengannya atau ikut serta dalam kelompok yang sama.
Contoh-contoh tumpahan ini menunjukkan bagaimana perasaan anak-anak yang stres dan tidak dikasihi ketika mereka disalahkan secara tidak adil. Hal ini menunjukkan pentingnya mendengarkan anak dengan empati dan memastikan bahwa mereka menerima dukungan yang diperlukan dalam keluarga dan lingkungan sosialnya.