0 0
Read Time:4 Minute, 41 Second

dianrakyat.co.id, Jakarta – Seruan terhadap “pemberdayaan perempuan” semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Penafsirannya boleh luas, namun jangan mengingkari hak-hak perempuan yang sudah lama diperjuangkan dan masih berlanjut hingga saat ini.

Komisioner Komisi Nasional Perempuan (COMNAS) Rainey Khutabarat mengatakan kekuatan perempuan adalah kekuatan perempuan. – Diskriminasi.

“Ada empat faktor utama dalam pemberdayaan perempuan,” ujarnya kepada dianrakyat.co.id Lifestyle, Jumat, 8 Maret 2024. “Pertama, akses yang berarti kesempatan atau peluang bagi perempuan untuk mengakses dan menggunakan sumber daya seperti informasi, kredit seperti bantuan permodalan, benih dan pupuk serta pelatihan.”

Kedua, partisipasi. (Ini) partisipasi bermakna perempuan dalam pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, perencanaan program dan respon di lembaga komunitas terkecil, asosiasi lingkungan, organisasi. Situasi yang mereka hadapi.

Ketiga, lanjut Rainey, adalah kontrol, artinya pengelolaan sumber daya, termasuk permodalan, akses, kapabilitas, teknologi, dan sumber daya lainnya seperti informasi. Keempat, manfaatnya. Kegunaan yang bisa dinikmati (perempuan) sama seperti laki-laki.

Ia menekankan bahwa keempat faktor ini juga berlaku bagi perempuan dalam kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, “berbeda-beda tergantung pada status disabilitasnya”.

Sependapat dengan uraian tersebut, EO Liga Wanita Indonesia Yosteri mengatakan empat faktor di atas bukan berarti memberikan “karpet merah” bagi perempuan. “Tetapi pahamilah bahwa perempuan mempunyai titik awal yang berbeda,” ujarnya, Jumat, 8 Maret 2024.

Oleh karena itu, ketika seorang perempuan ingin berkembang, perlu dipastikan bahwa dirinya dapat berdaya dengan dukungan lingkungan yang ada, tambahnya.

Di sisi lain, Koordinator Gender dan Inklusi Sosial SYNDICATION, Selira Diane, secara pribadi tidak menyukai istilah “kekuatan perempuan” karena para perempuan ini dulunya merasa tidak berdaya. “Saya suka menyebutnya Jalan Raya Gender (PUG),” ujarnya, Rabu, 6 Maret 2024.

Dalam konteksnya, menurutnya istilah PUG merupakan respon atas permasalahan yang dihadapi perempuan, yakni dideprivasi atau sengaja “diangkat”, sehingga keterwakilan perempuan sangat rendah, terutama di ruang publik. Ia melanjutkan, “PUG merupakan agenda yang lebih besar yang diprakarsai oleh berbagai tingkat gerakan sosial dan pemerintahan, dan tentu saja tujuannya adalah untuk mengatasi kurangnya keterwakilan perempuan.”

“Tetapi, sekali lagi, kita harus kritis terhadap agenda ini karena perempuan bisa menjadi tokenist atau dihadirkan sebagai tameng untuk menunjukkan bahwa kita inklusif,” ujarnya. Faktanya, isu-isu yang paling mendesak, seperti kekerasan seksual, masih menindas perempuan dan kelompok minoritas gender lainnya.

“Lihat betapa sulitnya mengesahkan UU TPKS (UU Tindak Pidana Pencabulan), ini contoh betapa setengah hati negara dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan,” kritik Diana.

Esther melanjutkan, “Membicarakan pemberdayaan perempuan berarti berbicara tentang kesetaraan gender. Perempuan memang sudah berdaya, tapi pikiran masyarakat masih penuh dengan seksisme, dan itu juga bisa menjadi penghambat. Jadi bisa saja kita ngobrol Aspek merugikan orang lain juga penting, “agar tidak berniat merugikan orang lain”.

Menurut Rainey, faktor lain yang harus dimunculkan seiring dengan pemberdayaan perempuan adalah penghapusan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Ia mengatakan kekerasan terhadap perempuan tidak mendiskriminasi anak atau penyandang disabilitas mental dan intelektual.

“Juga tidak tergantung pada tingkat pendidikan, pendapatan, dan lokasi,” ujarnya. “Kekerasan terhadap perempuan memberikan dampak negatif terhadap perempuan berupa trauma dan gangguan psikologis yang dapat mengakibatkan korbannya mengalami self-harm, gangguan jiwa berat, atau self-harm.”

“Dampak jangka panjang akan berdampak pada perekonomian dan lapangan kerja, dan perempuan mungkin dikucilkan dari lingkungan sosial, serta mengalami penurunan kinerja, risiko dipecat atau tidak dipromosikan.”

Oleh karena itu, lanjutnya, Komnas Perempuan sepakat bahwa mandat tersebut juga harus mencakup perlindungan terhadap perempuan. “Perlindungan terhadap perempuan berarti PPPA Kabinet Nomor 2 Tahun 2022 yang berarti perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan, serta segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perlindungan khusus.”

Sementara itu, menurut Diana, perempuan tidak memerlukan perlindungan khusus jika tidak terjadi kekerasan terhadap perempuan. “Namun kenyataannya, hal ini selalu diulangi dan diabaikan oleh pemerintah,” katanya. “Oleh karena itu, tergantung pada konteks masalahnya, melindungi perempuan merupakan keadaan darurat dan harus menjadi strategi mitigasi.”

Diana mencontohkan, jalur KRL memiliki gerbong khusus perempuan untuk menekan angka pelecehan seksual. “Di satu sisi bagus, setelah berpuluh-puluh tahun pemerintah mengakui adanya pelecehan seksual di angkutan umum. Namun strategi ini tidak menjawab akar permasalahan, karena semakin menguatkan stigma ‘kelemahan’. ‘Perempuan butuh keistimewaan gerbong.’

“Jadi, jika kereta yang bukan perempuan diganggu, seseorang dapat berseru, ‘Oleh karena itu, pergilah ke kereta perempuan.’” Hal ini jelas mencerminkan praktik perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga di ruang publik. Pemikiran setiap orang tidak boleh dilecehkan dan perempuan harus dibiarkan begitu saja,” jelasnya.

Sebagai sebuah serikat pekerja, menurut Diana, serikat pekerja selalu menggunakan pengarusutamaan gender bagi perempuan dan kelompok minoritas gender lainnya. Kepemimpinan Perempuan; Peraturan internal antara lain AD ART, Pakta Integritas Anti Kekerasan Seksual, SOP Penanganan Kekerasan Seksual, Unit Gender dan Inklusi Sosial serta Layanan Hotline Pengaduan Kekerasan Seksual bagi anggota.

Kami telah menerbitkan beberapa penelitian seperti “Mengubur Peti Mati di Tengah Pandemi” (2020), “Flexploitation (2021)” dan “Evaluasi Aliran Gender dan Inklusi Sosial Terhadap Sindikasi” (2021). Perempuan melewati lapisan struktural. diskriminasi,” ujarnya.

Hal ini mencakup kesenjangan upah dibandingkan dengan pekerja laki-laki, risiko kekerasan seksual, beban ganda bagi ibu yang bekerja, lebih sedikitnya kesempatan bagi ibu (penitipan anak, ruang laktasi), dan lain-lain.

Sebagai penutup, Esther mengatakan, “Perempuan punya pilihan tidak peduli siapa mereka atau di mana mereka berada. Perempuan merasa tidak punya pilihan karena ketidaksetaraan. Patriarki masih ada, bias masih ada. Peran kita sebagai wanita harus berusaha, apa pun yang terjadi dalam hidup, teruslah berkembang.”

“Juga (bisa) belajar dari orang-orang terdekat. Kuat bukan berarti butuh orang lain, berdaya bukan berarti tidak harus hidup sendiri. Perempuan bisa jadi role model dan memberdayakan lebih banyak orang,” ujarnya. dikatakan.

Mengangkat semangat Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret, Rainey berpesan: “Berdiri bersama, mandiri, akui kekerasan terhadap perempuan. Akui hak-hak Anda, berani mengakhiri kekerasan dan residivisme. Impunitas bagi pelaku.”

Terakhir, Diane berkata, “Kekerasan yang dihadapi perempuan bersifat sistemik.

“Jika ada kesempatan, marilah kita menuntut hak-hak kita sebagai perempuan dan minoritas gender, karena kenyataan pahitnya tidak akan ada keadilan tanpa perjuangan,” tutupnya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
PAY4D