dianrakyat.co.id, Jakarta – Bagaimana jika utang puasa tahun lalu tidak terbayar? Pertanyaan ini sering muncul di kalangan umat Islam yang mengalami beberapa keadaan yang membuat mereka tidak bisa menjalankan puasa yang telah mereka jalankan.
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami pendapat keempat Imam fiqih yaitu Hanafi, Al-Maliki, Syafi’i dan Al-Hanbali yang mempunyai pandangan berbeda mengenai qadha puasa.
Imam Hanafi, salah seorang imam agama, berpendapat bahwa jika utang puasa tahun sebelumnya belum terbayar, maka qadha puasa dapat dilakukan kapan saja tanpa batas waktu. Pandangan ini memberikan keleluasaan bagi masyarakat yang belum membayar dana pensiunnya pada tahun sebelumnya.
Sedangkan Al-Maliki melalui pendapat Ibnu Abd al-Barr menjelaskan bahwa jika seseorang mampu berpuasa sebelum bulan Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya untuk berqadha dan membayar fidya dengan memberi makan kepada orang miskin. . Debu untuk setiap hari dia pergi.
Penting bagi umat Islam untuk memahami perbedaan pendapat karena dapat mempengaruhi praktik hukum rezeki. Selain itu, Imam Syafi’i dan Hanbali juga mempunyai pandangan masing-masing yang penting untuk dipahami agar umat Islam dapat menunaikan kewajiban agamanya dengan penuh keimanan dan pemahaman.
Berikut dianrakyat.co.id mengulas lebih dalam pendapat empat sekolah terkait pinjaman harian tahun lalu yang tak terbayar, Rabu (28/2/2024).
Menurut ulama Syafi’i, jika seseorang mempunyai pinjaman tahun sebelumnya yang belum terlunasi, maka banyak amalan yang bisa dilakukannya. Kitab Al-Majjam Imam Nawawi, Seerah Al-Muhadzab menyebutkan bahwa jika seseorang menunda Qadha sampai Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya untuk membuat Qadha puasa Ramadhan itu.
Ia menekankan pentingnya menunaikan kewajiban puasa yang diharapkan sebelum memasuki bulan baru Ramadhan. Selain itu, Imam Nawawi juga menegaskan bahwa hendaknya seseorang membayar fidya setiap hari yang baru memasuki bulan Ramadhan kedua, yaitu satu periode makan dengan Qada.
Sedangkan menurut Zakaria Al-Ansari, dalam Islam diperbolehkan menunda qaza bagi siapa saja yang mempunyai alasan, baik itu sakit, bepergian, atau hamil dan menyusui. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menitikberatkan pada keadaan individu dan memberikan kebebasan dalam beribadah khususnya dalam hal berpuasa.
Dengan pemahaman ini, umat Islam akan lebih mudah berpuasa tanpa penderitaan, dengan tetap menjaga ketaatan terhadap ajaran agama.
Pendapat ulama Syafi’i ini memberikan petunjuk yang jelas bagi umat Islam yang mempunyai tunggakan rezeki dari tahun sebelumnya. Utang tersebut diminta segera dilunasi sebelum memasuki bulan baru Ramadhan, sebagai bentuk ketaatan beragama. Selain itu, bagi mereka yang mempunyai alasan khusus yang menghalanginya untuk membayar utang pensiun, seperti sakit atau perjalanan, kelonggaran diberikan dengan menunda putusan sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Hanabilah Maktaba Faqr berpendapat bahwa hutang rezeki tahun sebelumnya yang belum dibayar merupakan tanggung jawab seorang muslim untuk menunaikan kewajiban agamanya dengan penuh kehati-hatian. Menurut tafsir yang diberikan dalam Kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, barang siapa yang tidak berpuasa tanpa alasan dan menunda Qadaa, maka wajib baginya membayar satu periode fidyah sesuai dengan sisa hari-harinya.
Dalam pandangan ini, adanya fidyah sebagai pengganti puasa membolehkan mereka yang tidak bisa berpuasa karena alasan tertentu.
Mengenai proses qadha puasa akhir, mazhab al-Hinabla menjelaskan bahwa puasa dapat dilakukan secara terus menerus atau secara terpisah. Namun sebagian ulama menyarankan untuk melakukannya terus menerus jika bisa karena dianggap mustahab atau dianjurkan dalam Islam.
Apabila seseorang lupa jumlah pinjaman rezekinya, maka para ulama menyarankan agar jumlah penggantinya ditetapkan berdasarkan jumlah maksimal. Misalnya, jika seseorang lupa bahwa ia wajib berpuasa enam atau tujuh hari, maka tujuh hari harus diambil sebagai batas maksimalnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam telah diberikan nilai dan dorongan yang penuh dalam pemenuhan kewajiban agama.
Pendapat Maktab Faqr al-Hanafiyyah mengenai utang rezeki tahun sebelumnya yang tidak terbayar memberikan petunjuk yang jelas bagi umat Islam dalam situasi ini. Dalam Kitab Tabeen al-Haqaiq Seer Kanzu al-Daqayq, Az-Dha’ili menjelaskan jika seseorang mempunyai hutang puasa dari tahun sebelumnya yang belum dibayar hingga Ramadhan berikutnya. Kewajiban utamanya adalah berpuasa di bulan baru Ramadhan.
Artinya puasa tahun ini harus diselesaikan sebelum membayar puasa tahun sebelumnya. Tentang pentingnya menunaikan kewajiban puasa di bulan Ramadhan yang sedang berjalan, sebelum memikirkan qada puasa tahun sebelumnya.
Selain itu, menurut penjelasan yang sama, tidak wajib membayar fidya bagi orang yang mempunyai hutang pada tahun sebelumnya. Sebab, kewajiban terlambat puasa tidak diiringi dengan pembayaran fidya. Dari konteks ini diketahui bahwa ada peran Turki dalam kompensasi puasa, yang artinya tidak perlu terlambat berpuasa, namun bisa ditunda dalam jangka waktu tertentu.
Menurut hukum Islam, penting bagi umat Islam untuk memahami pandangan para ulama mazhab Hanafi mengenai utang puasa tahun sebelumnya yang belum terlunasi. Ayat ini memberikan petunjuk yang jelas mengenai urutan prioritas dalam membayar kewajiban puasa, mengutamakan puasa pada bulan Ramadhan saat ini sebelum pembayaran hutang puasa tahun sebelumnya.
Pendapat ulama mazhab al-Malikiyyah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abd al-Barr dalam kitabnya menekankan bahwa jika seseorang mempunyai pinjaman pada tahun sebelumnya yang belum dibayar, hendaknya ia melakukan Qadha. Fidya (makanan orang miskin) setiap hari yang tersisa.
Dalam hal ini, fidyah menjadi wajib bila tidak ada alasan untuk menunda putusan. Ayat ini memberikan petunjuk yang jelas bagi umat Islam yang belum melunasi utangnya pada tahun sebelumnya.
Berbeda dengan pendapat Hanafi yang lebih mempertimbangkan keadaan individu, Imam Maliki menekankan kewajiban qadha dan fidya sebagai kewajiban utang rezeki yang belum tertunaikan. Penekanan tugas ini menekankan pentingnya menjalankan kewajiban agama dengan sungguh-sungguh, sebagai wujud ketaatan terhadap ajaran Islam.
Menurut Ibnu Abd al-Barr, jika seseorang tidak dapat menyelesaikan puasanya sebelum Ramadhan, maka sah memberikan fidya. Namun jika seseorang mampu menunaikan Qada sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya, maka Qada tersebut wajib yang wajib dipenuhi.