dianrakyat.co.id, Jakarta Tantrum pada anak bisa dipengaruhi oleh lamanya penggunaan gawai. Demikian disampaikan dokter anak I Gusti Ayu Trisna Windiani.
Menurutnya, penelitian terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa 65,1 persen anak yang bermain gawai lebih dari 20 menit sehari meningkatkan risiko agresi sebesar 0,375 kali lipat.
Karena penggunaan atau paparan gawai yang berlebihan dapat mengubah perilaku (anak). Ada perilaku buruk dan gangguan emosi pada anak, fungsi kontrol korteks frontal otak terganggu, kata I Gusti Ayu dalam sebuah wawancara. konferensi online bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Selasa (23/4/2024).
Pertama, ia menjelaskan bahwa kemarahan merupakan suatu sifat perilaku yang mencerminkan respon yang tidak terkendali terhadap kesedihan anak.
“Jadi, anak tidak bisa mengendalikan kesedihan yang dirasakannya, ini masa yang sangat berbahaya, sangat berbahaya bagi anak, tidak sesuai dengan situasi, kemarahan bisa muncul dimana-mana.
Saat tantrum, anak menunjukkan perilaku agresif sebagai respons terhadap rasa frustrasi dan kemarahan.
“Masa kanak-kanak merupakan perkembangan normal anak, namun berbeda,” kata I Gusti Ayu.
Biasanya, kejang terjadi antara 18 bulan dan 4 tahun. Pada anak di bawah usia 2 tahun, kejadian tantrum bisa mencapai 20 persen. Jumlah ini menurun seiring bertambahnya usia.
Pada usia 3 tahun, persentase anak yang sakit parah turun menjadi 18 persen, dan pada usia 4 tahun persentasenya turun lagi menjadi 10 persen.
Untuk lebih jelasnya, I Gusti Ayu memaparkan beberapa peristiwa kemarahan yang umum terjadi berdasarkan tahun berikutnya: Anak usia 1 tahun seminggu 8 kali. Anak usia 2 tahun mengamuk 9 kali seminggu. Anak berusia 3 tahun mengamuk enam kali seminggu. Seorang anak berusia 4 tahun mengamuk 5 kali seminggu.
Sebaliknya, durasi menangis lebih lama tergantung usia: Kebanyakan anak usia 1 tahun menangis dalam waktu 2 menit. Anak usia 2-3 tahun biasanya tantrum dalam waktu 4 menit. Anak usia 4 tahun akan mengamuk dalam waktu 5 menit.
I Gusti Ayu juga menjelaskan tentang tanda, gejala, dan tahapan marah. Penjelasan itu diberikan dalam sebuah contoh.
Misalnya, seorang anak yang pergi ke taman hiburan melihat bianglala. Dia ingin naik, tapi orangtuanya melarangnya karena dia tidak bisa.
Anak mulai menunjukkan tanda-tanda kemarahan tahap pertama, yaitu berteriak dan membentak. Ketika orang tua tidak memenuhi kebutuhannya, anak memasuki gejala kemarahan tahap kedua, yaitu tindakan fisik. Hal ini dapat dilakukan melalui reaksi fisik seperti membalikkan badan ke tanah.
Pada tahap ketiga, bayi mulai tenang dan berhenti menangis dan menangis. Pada masa ini, orang tua bisa mulai menjelaskan kepada anaknya bahwa apa yang diinginkannya tidak bisa diberikan kepada dirinya sendiri.
Saat anak sedang marah, sebaiknya orang tua menanganinya dengan baik, yaitu: Diam, jangan berteriak, kecilkan suara. Jangan fokus pada penampilan bayi Anda, tapi jangan lupakan bayi Anda. Alihkan perhatian anak, lalu orang tua atau walinya pergi sejenak sambil menunggu amukan anak berhenti. Beri dia waktu untuk melepaskan energi dan amarahnya. Pastikan anak aman saat berangkat. Jangan berikan permintaan pada anak Anda.
Artinya, jangan mudah gerak, ‘oke, kasih saja ke aku’, anak itu teringat dalam benaknya, ‘Oh, kalau aku mau dapat makanan, aku harus ganti baju dulu’, jadi kamu punya untuk memikirkannya,” tutupnya.