0 0
Read Time:1 Minute, 53 Second

REPUBLIKA.C.O.ID, JAKARTA – Penyebaran dan meningkatnya ancaman arbovirus tampaknya menjadi pendorong pengembangan vaksin baru. Hal ini diumumkan oleh Bio Pharma, kepala proyek vaksin mRNA dan vektor virus. Selasa (23/04/2024) Indra Rudiansya pada acara Arbovirus Summit yang disiarkan di channel YouTube resmi Kementerian Kesehatan RI.

Menurut Indra, strategi utama dalam menangani arbovirus adalah dengan mengendalikan faktor penyebab arbovirus, seperti penggunaan pestisida atau nyamuk penyebar Wolbachia. “Tetapi kita juga dapat memperkenalkan senyawa baru sebagai senyawa kunci dalam pestisida untuk mengurangi atau mengendalikan faktor-faktor tersebut. Namun, tidak ada jaminan bahwa strategi alternatif akan mampu menghilangkan arbovirus sepenuhnya di masa depan. Makanya kita perlu melindungi diri “bagaimana memperkuat imunitas,” ujarnya.  

Dulu, dia mengatakan penggunaan pestisida merupakan salah satu cara untuk mengurangi jumlah nyamuk. Namun kini banyak gereja yang menentang pestisida, katanya. Itu sebabnya vaksin penting dalam mengobati arbovirus, katanya.

Ia menjelaskan, saat ini sudah ada vaksin untuk melawan penyakit arbovirus, seperti vaksin demam kuning yang diterima oleh masyarakat yang bepergian atau tinggal di daerah endemis. Kemudian, dia mengatakan ada juga vaksin chikungunya yang sudah disetujui namun penggunaannya terbatas di Amerika Serikat.

“Lalu ada beberapa vaksin untuk melawan Japanese encephalitis. Tiga dari vaksin ini sudah diklasifikasikan sebagai PQ oleh WHO,” ujarnya.

Ia juga mencatat ada Dengvaxia untuk pengobatan demam berdarah yang bisa diberikan kepada orang dengan status seropositif. Selain arbovirus yang menyerang manusia seperti demam berdarah, chikungunya, dan Zika, ada juga yang dapat menyerang hewan seperti Rift Valley Fever (RVF). Menurutnya, penyakit ini dapat menimbulkan beban ekonomi karena berakibat fatal bagi ternak.

“Ada banyak arbovirus yang bisa menyebabkan epidemi berikutnya, seperti CCHF (demam berdarah Krimea-Kongo),” ujarnya.

Saat ini, hanya ada satu vaksin untuk melawan CCHF dan dua vaksin untuk RVF, sehingga perlu dilakukan diversifikasi pengembangan vaksin untuk penyakit-penyakit yang berisiko menjadi epidemi di masa depan. Ia percaya bahwa semua teknologi untuk pengembangan vaksin, diagnosis, dan pengobatan tidak akan ada gunanya tanpa akses yang setara kepada masyarakat. Dia percaya bahwa teknologi perlu ditransfer.

Terkait mRNA, menurutnya berhasil meningkatkan perlindungan terhadap Covid-19 dan membuka peluang untuk digunakan pada penyakit lain. “Untuk mendorong kesetaraan, WHO dan MPP telah meluncurkan program transfer teknologi mRNA untuk memungkinkan produsen lokal memproduksi vaksin mRNA dan meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi pandemi,” katanya. Teknologi tersebut telah ditransfer ke 15 mitra, termasuk Indonesia, Bio Pharma.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
PAY4D