0 0
Read Time:3 Minute, 46 Second

dianrakyat.co.id, Jakarta – Istilah SRMNCAH+N mengacu pada masalah seksual dan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, kesehatan remaja, dan gizi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menggabungkan isu-isu ini ke dalam istilah SRMNCAH+N untuk memfasilitasi pengumpulan dan pemantauan data. Selain pentingnya sosial dari topik ini.

Di Indonesia, solusi SRMNCAH+N dinilai terbaik dan kontroversial. Hal ini terlihat dari tingginya angka pengangguran, angka kematian ibu dan bayi, meningkatnya praktik pernikahan anak, dan kekerasan berbasis gender.

“Ketidaksetaraan gender, kurangnya komitmen dan dukungan finansial, serta peran tanggung jawab, menyulitkan pemerintah untuk mengembangkan berbagai program pendidikan gizi kesehatan ibu dan anak, kesehatan dan kesehatan generasi muda,” kata TRACK SDGs Pemimpin Proyek, Pusat Inisiatif Pengembangan Strategis. Indonesia. (CISDI), Fachrial Kautsar dalam keterangannya, Rabu 05 Juni 2024).

Isu-isu tersebut disampaikan pada Acara Diseminasi Awal TRACK Kesehatan di Jakarta Pusat, Jumat 31 Mei 2024.

Proses yang melibatkan 19 organisasi publik ini merupakan bagian dari rangkaian TRACK Health yang berlangsung pada Januari hingga Mei 2024. CISDI menyelenggarakan proses TRACK Health di Kabupaten Garut, Jawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

TRACK Health merupakan proyek kolaborasi antara instansi pemerintah daerah dan organisasi masyarakat setempat. Kemitraan ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan infrastruktur kesehatan dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.

 “TRACK Health berupaya mendukung banyak proyek untuk mengatasi SRMNCAH+N. Fachrial menjelaskan bahwa “Setelah lokakarya perencanaan pembangunan kesehatan di dua wilayah, TRACK Health bersama-sama membuat daftar aturan,” jelas Fachrial.

TRACK Temuan kesehatan di Sumbawa Barat dan Garut menunjukkan bahwa perlindungan dan kesehatan perempuan dan anak masih belum disepakati.

Ego sektor dalam pengelolaan informasi, kurangnya komitmen dan dukungan finansial, serta pemanfaatan pertemuan regional yang berfokus pada pembangunan fisik, hanyalah beberapa temuan dalam bidang ini.

TRACK Health mencatat jumlah permohonan perkawinan anak yang dikabulkan di Sumbawa Barat dan Garut sangat berbeda. Di Sumbawa Barat, Pengadilan Hukum Taliwang memiliki nota kesepahaman dengan Dinas Kesehatan mengenai layanan screening anak pada saat penerbitan surat nikah.

Melalui MoU ini, Sumbawa Barat berhasil menurunkan jumlah surat nikah anak menjadi tiga kasus pada tahun 2023, jumlah terendah di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Sebaliknya di Garut yang masih minim komitmen dan kerjasama antara Dinas Kesehatan dan Pengadilan Agama, maka persyaratan pemeriksaan dan pelayanan pengujian/pelayanan profesional bersifat opsional.

Oleh karena itu, antara tahun 2019 hingga 2022, rata-rata ratusan permohonan nikah dikabulkan di Pengadilan Agama Garut setiap tahunnya dan tidak ada yang ditolak, kata Fachrial.

Fachrial menambahkan, Indonesia memiliki jumlah anak menikah tertinggi keempat di dunia.

Bahkan setelah perubahan batasan usia dalam Undang-Undang Perkawinan yang dijadwalkan pada tahun 2019, angka pernikahan anak meningkat menjadi 173 persen​​​​​​​​​​​​​​

Berdasarkan data UNICEF, setidaknya terdapat 25,52 juta pernikahan anak di Indonesia pada tahun 2023. Nusa Tenggara Barat tercatat sebagai provinsi dengan jumlah pernikahan anak tertinggi pada tahun 2023.

Pada peluncuran pertama TRACK Health, 22 pemangku kepentingan yang mewakili organisasi masyarakat sipil berpartisipasi dalam diskusi kelompok terfokus (FGD). Panitia membagi peserta menjadi lima kelompok diskusi berdasarkan topik: kesehatan ibu, anak dan gizi, jenis kelamin dan kesuburan, pernikahan anak di bawah umur, kekerasan berbasis gender, dan perilaku generasi muda yang berani mengambil risiko.

Dari diskusi kelompok ditemukan banyak faktor yang mempengaruhi penyelesaian SRMNCAH+N di tingkat nasional dan daerah, antara lain: penggunaan uang yang baik.

Project Manager Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI), Desrina, mencontohkan intervensi dalam mengatasi kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan seksual dan praktik pernikahan anak.

Menurut Desrina, tantangan terbesar dalam penerapan Undang-Undang Pencegahan Kejahatan (SVCA) adalah kemampuan polisi dalam menanggapi laporan kekerasan seksual terhadap orang tua.

“Perlu penguatan kapasitas kepolisian melalui pendidikan dan pelatihan pencegahan dan penyelesaian kekerasan seksual sebagaimana tercantum dalam Pasal 81 UU TPKS,” ujarnya.

Pakar lainnya, Marsha, peneliti Lembaga Penelitian Kehakiman Indonesia (IJRS), menambahkan perlunya sistem pendidikan untuk mengatasi kekerasan berbasis gender dan uang kontrak, termasuk uang untuk membantu korban.

“Pelatihan lebih lanjut mengenai implementasi UU TPKS diperlukan baik bagi kepolisian, kejaksaan, maupun Mahkamah Agung untuk menghindari ketidakpastian dalam penerapan UU tersebut dan mendorong koreksi dan pengembalian para korban,” kata Marsha.

“Selain itu, harus ada pelatihan berkala tentang hak-hak internal perempuan, anak, dan penyandang disabilitas dalam bidang keadilan di semua sekolah,” lanjutnya.

Menurut Marsha, permasalahan serupa juga muncul saat melamar pernikahan. Banyak putusan pengadilan yang memihak pada hak ayah dan mengabaikan asas kepentingan terbaik bagi anak.

Misalnya, skala putusan menunjukkan adanya hakim yang mengabulkan perceraian terhadap pasangan muda karena dikecualikan dari perzinahan karena sudah menikah. Padahal, mereka masih anak-anak dan masih bersekolah.

Bahkan dalam kasus yang paling ekstrim sekalipun, korban kekerasan berbasis gender dipaksa menikah dengan pelaku. Ironisnya, tekanan terbesar datang dari keluarga korban dan pelaku yang secara sepihak memilih untuk tidak merasa malu.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
PAY4D