0 0
Read Time:3 Minute, 27 Second

dianrakyat.co.id, Jakarta – Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) dr. Imran Pambudi memaparkan upaya peningkatan deteksi dini TBC dan peningkatan kualitas layanan TBC. Tujuannya agar pasien tuberkulosis dapat ditangani dengan cepat sehingga peluang kesembuhannya semakin besar.

Mendeteksi TBC sama dengan mendeteksi COVID-19, yaitu jika tidak dites, dideteksi, dan dilaporkan maka jumlahnya tampak rendah sehingga tidak dilaporkan sehingga menyebabkan pasien TBC merantau dan menyebarkan infeksi karena tidak diobati.

“Sebelum epidemi ini, deteksi TBC baru mencapai 40-45 persen kasus TBC, sehingga masih banyak kasus yang tidak terdeteksi atau dilaporkan,” kata Imran.

Kementerian Kesehatan menggunakan pola kemitraan campuran pemerintah-swasta (PPM). Pertama, penyertaan seluruh Puskesmas (fasyanka), baik pemerintah maupun swasta secara umum di 34 provinsi, khususnya di 19 provinsi PPM.

“Kegiatan pengenalan ditujukan kepada Rumah Sakit (RS), Klinik dan Dokter Mandiri (DPM) dalam program tuberkulosis,” jelas Imran dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (23/02/2024).

Kegiatannya meliputi advokasi dan in-house training, penyediaan jaringan akses pengujian laboratorium yaitu tes cepat molekuler/TCM dan mikroskopis, serta alat-alat seperti obat melalui program OAT (anti tuberkulosis) dan peralatan (BHP) termasuk selongsong peluru, obat batuk. wadah dan kedua, fasilitas kesehatan.

“Jadi, pemberian feedback, On-the-Job Training (OJT) dan pengecekan dan pengecekan secara berkala,” kata Imran. 

 

 

Kedua, masuknya jaringan besar rumah sakit swasta dalam program tuberkulosis. Keikutsertaan ini mencakup enam jaringan rumah sakit swasta terbesar di Indonesia yaitu MPKU PP Muhammadiyah, Hermina, Siloam, Pertamina Bina Medika IHC, Primaya dan Mitra Keluarga dengan total 256 rumah sakit.

Padahal, jaringan rumah sakit mandiri ini memiliki indikator keberhasilan antara lain tujuan meningkatkan angka kejadian tuberkulosis, memperoleh diagnosis sesuai standar TCM, memperoleh obat/program OAT bagi pasien TBC, efisiensi pengobatan dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam pelayanan TBC. “, jelas Imran.

Sekarang, aktiflah memperkuat kegiatan skrining TBC di rumah sakit, mengirimkan umpan balik setiap triwulan serta kegiatan pemantauan dan evaluasi bulanan berdasarkan efektivitas. Jaringan rumah sakit swasta juga menyediakan pengawasan, OJT dan bimbingan teknis. 

 

 

 

Ketiga, masuknya jaringan rumah sakit dan klinik TNI dan POLRI dalam program tuberkulosis. Jaringan ini mencakup 122 RS TNI dan 57 RS POLRI, serta 619 klinik TNI dan 598 klinik POLRI.

“Kegiatan peningkatan kapasitas dan penguatan peran Puskesmas TNI-POLRI dalam tes TBC. Kegiatan feedback dan evaluasi serta evaluasi akan kami kirimkan setiap triwulan untuk memantau kontribusi Puskesmas kepada TNI dan POLRI, lanjut Imran.

“Administrasi, OJT, teknis pengelolaan rumah sakit dan klinik juga dilakukan di lingkungan TNI dan POLRI.”

Cara keempat, lanjut Imran, adalah dengan mengembangkan cara-cara baru untuk mendukung program tuberkulosis di pusat layanan primer (FKTP). Inovasi ini berupa pemberian subsidi ketidakmampuan layanan TBC bagi FKTP peserta, meliputi skrining, pengobatan tahap awal, dan pengobatan tahap lanjut.

Inisiatif ini diawali dengan uji coba di 6 kota dengan jumlah penderita tuberkulosis tinggi, yaitu Kota Medan, Kota Jakarta Utara, Kota Bogor, Kota Semarang, Kota Surabaya, dan Kota Denpasar. Masa uji coba akan berlangsung pada Juli 2023 hingga Juni. 2024,” ujarnya.

Kelima, pendekatan berupa pelatihan TBC. Dalam hal ini kegiatan pelatihan dan konsultasi bagi tenaga kesehatan dalam program tuberkulosis di puskesmas.

“Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan standar kondisi tuberkulosis di fasilitas kesehatan. Tahun 2023 dilaksanakan di 28 kabupaten/kota, tahun 2024 diperluas ke kabupaten/kota 80,” imbuh Imran.

Keenam, pemberian satuan kredit profesi (SPU) kepada tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan tuberkulosis di fasilitas kesehatan. Ia bekerja sama dengan asosiasi profesi dokter, perawat, apoteker dan pekerja laboratorium.

Cara ketujuh yang juga penting adalah melakukan koordinasi dengan berbagai aktor dalam program Kementerian Kesehatan dan antar pusat untuk meningkatkan kualitas layanan tuberkulosis di puskesmas. Tautan tersebut antara lain: Otoritas Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan mengikutsertakan bagian TBC pada saat melakukan akreditasi Puskesmas.

Pusat Pendanaan dan Kebijakan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK) dan BPJS Kesehatan mengenai pendanaan tes tuberkulosis untuk faktor risiko yang terdapat pada organisasi puskesmas FKTP, misalnya dengan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) untuk memantau dan memberikan komentar atas donasi tersebut. rumah sakit dan klinik swasta dalam program tuberkulosis (penemuan dan pengendalian kasus).

Organisasi profesi yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Profesi Indonesia Pengendalian Tuberkulosis (KOPI TB) dalam berbagai kegiatan dan menyusun pedoman/peraturan di tingkat nasional dan daerah Memulai diskusi dengan penyedia layanan telemedis seperti Halodoc dalam rangka menemukan dan mengobati tuberkulosis. pasien sesuai standar.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
PAY4D