dianrakyat.co.id, Jakarta Normalnya, jantung berdetak 60-100 kali per menit saat istirahat, namun atrial fibrilasi (AF) bisa berkali-kali lipat dibandingkan pada penderita gangguan irama jantung.
Fibrilasi atrium adalah suatu kondisi dimana atrium jantung dapat berdetak lebih dari 400 kali per menit. Diperkirakan terdapat lebih dari tiga juta penderita FA di Indonesia.
Menurut ahli jantung Sanbudi Raharju, jenis aritmia yang paling umum terjadi di masyarakat adalah fibrilasi atrium.
Faktor risiko fibrilasi atrium
Orang dengan fibrilasi atrium memiliki risiko stroke empat hingga lima kali lebih tinggi dibandingkan pasien non-AF, jelas Snow.
Dalam keterangan tertulis yang dimuat dianrakyat.co.id pada Jumat, 3 Januari 2025, Snow mengatakan: “Kondisi ini meningkatkan risiko penggumpalan darah dan gagal jantung. Penggumpalan darah yang terbentuk dapat menyebabkan stroke.”
Detak jantung yang sangat cepat dan tidak teratur meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung dan tentunya meningkatkan angka kematian pada pasien AF.
Menurut Mayo Clinic, beberapa penderita fibrilasi atrium tidak menunjukkan gejala.
Namun, gejala paling umum yang dialami penderita fibrilasi atrium adalah detak jantung cepat, jantung berdebar atau berdebar-debar, nyeri dada, pusing, kelelahan, kepala terasa ringan, sesak napas, dan lemas.
Jika berbicara tentang pasien yang dirawat di salah satu pusat kardiologi di Jakarta pada akhir Desember, keluhan utamanya adalah nyeri dada, nyeri dada, dan kelelahan.
Bagi penderita fibrilasi atrium, dokter akan meresepkan terapi obat (medikasi) dan meminta pasien mengontrol faktor risikonya.
Jika meminum obat tidak memberikan efek positif pada pasien, maka perlu dilakukan pembukaan kateter.
Ablasi kateter adalah prosedur invasif minimal non-bedah yang menggunakan kateter yang dipasang melalui pembuluh darah dan dipasang ke jantung untuk menemukan dan menghentikan sumber aritmia, kata Snow.
Pembukaan kateter dilakukan untuk mencegah penurunan fungsi pemompaan jantung (gagal jantung), mengurangi risiko stroke dan memperpanjang umur pasien.
Snow menjelaskan, secara umum prosedur ablasi kateter dapat dilakukan dengan ablasi termal maupun non termal.
Ablasi termal dapat menggunakan energi frekuensi radio, yang menggunakan energi panas untuk menimbulkan lesi, atau krioenergi, yang menggunakan energi dingin untuk membekukan jaringan.
Sedangkan teknologi ablasi non-termal yang saat ini banyak digunakan di seluruh dunia adalah pulsed field ablation (PFA).
Snow menjelaskan, teknologi PFA bekerja melalui proses elektroporasi, yaitu penghantaran gelombang listrik pendek yang membuka pori-pori pada membran sel sehingga jaringan target dapat dimusnahkan dengan aman tanpa mempengaruhi jaringan lain.
Sifat selektif dari pengobatan seperti PFA berarti proses eliminasi ini lebih cepat, efisien dan aman bagi pasien.
Pada tanggal 28 Desember 2024, sebuah rumah sakit penyakit jantung menggunakan teknologi pulsed field ablation (PFA) untuk mengobati fibrilasi atrium pada pasien berusia 65 tahun.
Salju berkata: “Teknologi ini menghadirkan standar baru efisiensi pengobatan, namun mengutamakan kenyamanan dan keselamatan pasien. Dengan teknologi ini, kami berupaya memberikan pengalaman pengobatan terbaik bagi setiap pasien.”
Penggunaan teknologi pulsed field ablation (PFA) di rumah sakit kardiovaskular merupakan yang pertama di Indonesia akhir tahun lalu.